Badai yang menghantam Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) belum sepenuhnya berlalu. Hari demi hari, kasak-kusuk seputar kasus pembunuhan Nofriansyah Yoshua Hutabarat (Brigadir J) yang melibatkan mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo terus menghiasi pemberitaan media massa dan medsos. Sungguh ironis. Di tengah slogan “Polri Presisi” (prediktif, responsibilitas, transparansi berkeadilan) yang menggema pada masa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, institusi ini seketika tercoreng lantaran kasus Ferdy Sambo terbongkar.
Lebih sial lagi ikut menyeret sejumlah pejabat Polri, hingga kemudian memantik resistensi publik. Alhasil, Propam hingga Kompolnas menuai sorotan di tengah wacana Polri yang diharapkan demokratis. Menurut Sidratahta (2014), perilaku Polri tidak begitu banyak berubah dalam hal karakteristik kepemimpinan, ketika budaya militer masih mewarnai tindakan-tindakan kepolisian. Hal ini diakui Polri bahwa reformasi budaya memerlukan waktu yang lama untuk menjadikan Polri bagian dari sipil berseragam (civilian police). Dalam konteks penumbuhan suasana demokratis dalam internal Polri, mengutip Wahju Prijo Djatmiko, dapat dicapai dengan baik dengan dilaksanakannya fungsi pengawasan internal (Irwasum, Propam, dan para kepala kesatuan) dan eksternal (Kompolnas) yang sungguh-sungguh agar setiap insan Polri tak melakukan penyimpangan dari ketentuan yang diamanatkan dalam mengemban tugas profesi mulianya (Kompas, 4 Juli 2019).